Thursday, February 1, 2007

God is in the rain?

Bandung, 1 Februari 2006

Hujan mengalir deras diluar…
Suaranya keras menampar bumi dibantu gemuruh petir yang jauh, atau suara anjing menyalak dirumah seberang. Jika dipersonifikasikan hujan yang turun sekarang memang tampak jauh dari kesan protagonis. Dia keras, bersuara kasar, mistis, dingin, sedih, menampar, dan agak menyeramkan. Membuat saya maklum dan mahfum jika banyak orang yang membenci hujan. Benciiiiii banget. Bencicicicicicici…….

Tapi coba bayangkan hujan di film India, hehehe
Hujan saat kamu pulang sekolah bersama si dia. hehehe
Lain lagi dengan hujan di sawah sebuah desa yang telah lama paceklik

Saya tidak terbiasa membenci atau menyenangi sesuatu dengan sangat. Kadang saya kesal, kadang saya senang. Untuk hujan sama kasusnya.
Saat ini saya tidak memiliki rasa apa-apa pada hujan.
Karena hari ini bagi saya sama saja… turun hujan atau tidak…
Saya tetap dikamar masih belum bisa melawan musuh terbesar diri saya …

‘God is in the rain’
quote di film V for Vendetta.
Saya memang masih jauh dari Tuhan tampaknya.

-japs-

dari catatan harian: 170805

… Tetapi mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya,
ialah bertindak demi tanggung jawab sosialnya bila keadaan telah mendesak.
Kelompok intelektuil yang terus berdiam dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaannya …

…Bahwa mereka mati, bagiku bukan soal.
Mereka telah memenuhi panggilan seorang pemikir .
Tidak ada indahnya (dalam arti romantik) penghukuman mereka.

Tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran.

SHG, 4-12-62

_________________________________________________________

Sebuah SMS kepada teman, 16.8.05

“ Saya punya 1 pertanyaan bodoh : Jika kita tengah penuh janji kepada seseorang, sesuatu atau apapun itu.
Sedangkan kita melanggar janji kepada diri sendiri, apa benar …..
secara tidak langsung saya telah mengkhianati seseorang/sesuatu/apapun itu? …”

______________________________________________

Bandung,17 Agustus 2005

Saya cinta negara saya …
Saya juga ingin ikut membesarkannya…
Dengan cara saya tentunya,

Entah, itu sebuah janji atau bukan, tapi bagi saya (di dalam hati) itu adalah janji
Bayangkan berapa banyak janji saya setiap kali hati kecil memiliki cita.
Tapi kemarin entah keberapa kalinya saya mengkhianatinya, dengan melanggar janji pada diri sendiri.

Pada akhirnya saya masih berpikir saya memang pengkhianat. Mana ada orang yang menepati janji pada orang lain dengan baik jika janji pada dirinya sendiri saja dilanggar berulang-ulang kali. Oke mungkin saya terlalu memukul rata dengan kata “mana ada”, tapi ini subjektif saya …
maaf karena saya bukan tipe pemikir.

soal sisanya yang memandangnya sebagai prosesi yang “ ngga segitunya” itu hak mereka.
Saat ini yang ada di pikiran saya adalah … menepati janji … yang ternoda kemarin…
Berjuang buat bangsa tidak perlu perang sekarang, tapi kenapa tampaknya jauh lebih berat?
Ahhh… Aku-nya saja…

-japs-

_________________________________________________________

Bandung, 31-Januari-2007

“Selamat Ulang Tahun dulu buat Tinceu, and Anggaw kemarin …”

Membaca lagi tulisan diatas tentang janji pada diri sendiri saya masih belum menemukan cara yang tepat menepati janji pada orang lain tanpa serius menepati janji pada diri sendiri. Bisa dibilang hingga saat ini di tahun 2007 tidak ada perubahan yang berarti dalam hal masalah ini. Karena saya masih terus dan terus dan terus melanggar janji pada diri sendiri, bahkan mungkin janji itu sudah tidak didengar, dan saya semakin menuju ketenangan dalam pengkhianatan…

Ada hal yang selalu menjadi ketakutan saya akhir-akhir ini, bahwa saya seperti tidak menjadi seseorang yang bertambah baik dalam beberapa tahun ini… penurunan kualitas diri dalam menjalani hidup. Rasa percaya yang turun dan krisis terhadap diri sendiri yang semakin meningkat… satu alasan pasti yang aku percaya membuatnya menjadi begini.
“Saya semakin jauh dengan, Tuhan…”

-japs-


Perdana

Bandung, 31 Januari 2006

posting Perdana saya…

hari ini hari wawancara saya di tempat kerja Perdana saya, dan akhirnya untuk beberapa bulan/tahun kedepan saya akan tetap di kota super nyaman ini, Bandung. Terima kasih untuk Ibu yang paling mengerti, ia rela saya kerja jauh darinya jika memang itu yang terbaik bagi saya, demi tujuan hidup dan cita-cita saya. Terima Kasih Tuhan untuk Ibu yang paling mengerti.

Dan wawancara tadi pun lebih banyak bertanya langkah saya ke depan serta cita-cita saya. Saya jawab yang saya tahu, yang masih gamang saya simpan rapat-rapat. Tidak seperti wawancara kerja biasanya, saya lebih banyak mendengar ketimbang berbicara, lebih banyak wejangan ketimbang pertanyaan, keseluruhan saya sangat menikmatinya, seperti refleksi kebelakang dan merencanakan langkah kedepan.
Satu pendapat yang saya ingat dari seorang board (Pak Fash): “kalau kamu senang dengan bidang sosial anggap itu sebagai hobi, kita tidak perlu mencari uang
dari sana.”

Dan wawancara tadi mengingatkan saya bahwa yang saya cari dari tempat bekerja saya bukan hanya uang, saya perlu ilmu, saya perlu guru, saya perlu mentor, saya perlu contoh, saya perlu pencerahan, saya perlu keteraturan, saya perlu kualitas hidup yang baik, saya perlu kawan, saya perlu jaringan, saya perlu menjadi dewasa, saya perlu menjadi saya yang lebih baik, dan saya perlu belajar, belajar, dan belajar untuk itu, karena saya perlu berbakti, saya perlu berguna, dan sedikit saja perlu diakui.

Tapi kenapa uang selalu menjadi faktor paling menarik saat saya terpikir akan pekerjaan?
“Kerja di singapur gajinya 10 juta, Jap.”, “Kerja di oil company bisa 10 – 30 juta Jap, bahkan lebih”, atau “ Hah! Gaji driver di Jakarta juga udah 2 juta, masa kita yang
kuliah 4 tahun bisa lebih rendah?” (Maaf, itu hanya kutipan tiada maksud merendahkan profesi apapun, -japs)

Kalau saya ingat2, di film Janji Joni sih, asal udah cinta dengan pekerjaan or profesi kita, apa juga dilakuin, uang jadi nomor ke – terserah anda selain satu. Kalau begitu saya perlu satu hal lagi.

Saya perlu cinta….

-japs-